Oleh: Benny Yohanes
Salah satu pertunjukan "Kapai-Kapai - Arifin C Noer" Ryadhus Shalihin. Foto: Mega A Noviandri |
Ketertindasan
bukan melulu beban dan keterpenjaraan. Ketertindasan juga bisa
direproduksi sebagai ruang adaptif untuk bertahan. Kiat seperti itu
dapat disalurkan lewat jenis kreasi performatif di atas panggung maupun
dalam bentuk ’akting formal’ di ruang publik. Ketertindasan epistemik
dan politik dapat tampil melalui bentuk artistik. Manifestasi artistik
dari ketertindasan dapat menjalankan dua fungsi. Pertama, sebagai bentuk
pemuasan substitutif terhadap ketertindasan aktual. Teater rakyat,
seperti ludruk, di masa kolonialisasi dan transisi proklamasi,
menonjolkan elemen bahasa lokal untuk menyampaikan negasi dan pembalikan
epistemik terhadap status hierarkis majikan-jongos. Ini merupakan
penyandian dan sindiran terhadap status kemajikanan penguasa kolonial,
sekaligus sebagai pemuasan substitutif bagi ketertindasan aktual
penduduk lokal yang belum bisa diatasinya. Fungsi kedua merupakan
estetisasi terhadap trauma kultural. Jalan ini diambil oleh golongan
aristokrat lokal lewat modus adopsi dan peningratan simbol-simbol
kolonial, yang disebut oleh Denys Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya, hal
108) sebagai ’pembaratan busana’ seraya menunjukkan potret Sultan HB
VIII dalam seragam militer. Di satu pihak digunakan jas yang ketat, kaus
kaki dan celana, serta lencana (khas kolonial), di lain pihak, penutup
kepala, kain motif parang rusak, keris, dan peralatan menyirih (khas
lokal). ’Akting formal’ ini merupakan pengendalian dan pendamaian
artistik, untuk menghindari persaingan epistemik terbuka dengan
kekuasaan kolonialnya.
Dalam
teater modern, generasi Asrul Sani mengadopsi realisme Stanislavskian.
Akting adalah upaya ’menjadi’, dengan konsep ’magic if’: aktor
menampilkan kebenaran akting karena dia percaya mampu ’menjadi
seseorang’; mewujudkan sosok utuh yang baru. Generasi Asrul menghendaki
sosok utuh manusia pasca-proklamasi, untuk mewujudkan realitas
individuasi yang belum dimiliki. Visi itu punya prospek karena
menguatnya nasionalisme dalam integrasi keindonesiaan. Tapi pencarian ke
Barat adalah jalan menghampiri ketertindasan. Pembaratan metode akting
untuk program ’teater nasional’, yang kontradiktif secara idiil, adalah
bentuk pemuasan akademis untuk dapat ikut serta dalam arus pemodernan
teater Eropa. Namun hal itu ditempuh dengan meminimalkan pertalian
substantif dengan tradisi teater pribumi.
solo performance "Intruksi Jambal Roti" John Heryanto. Teks:Benjon. Foto: Tirta Anugrah |
Tahun 60-an, paham realisme sosialis menguat. ’Proletarian Drama’ menjadi kendaraan untuk promosi ideologi komunisme yang ilusif itu. Tradisi ludruk menampilkan akting sinkretik dan olok-olok dengan metode pengontrasan: kontras antara pikiran maju-kuno, antara tindakan halus-kasar, pertentangan bahasa krama-ngoko, atau antara bahasa nasional dan bahasa lokal. Menurut James L Peacock (Rites of Modernization, hal 218), tradisi ludruk yang berbasis kampung justru menampilkan orientasi ekstra-kampung: kampung bukan tempat untuk membangun utopia. Ludruk tahun 60-an menolak harmoni (kampung/kuno) dengan menawarkan disharmoni (kota/maju). Meminuskan ideal kampung untuk ’mempermainkan nilai’ kuno vs maju, tanpa kepentingan menjalankan revolusi nilai secara aktual, adalah bentuk pemuasan substitutif para aktor ludruk.
Periode
70-80-an, represi Orde Baru menjadi masif. Seluruh lembaga disetir oleh
kepatuhan dan kompromi. Sebagai antagon, muncul seni akting Rendra:
pentipean menggantikan konsep ’menjadi’. Tak penting sosok utuh tanpa
nyali politik. Kendali politik yang traumatik direspons dengan diksi
oratorik dan tipikalisasi hero pemberontak. Akting menjadi tindakan
sosial. Rendra di atas panggung dan Rendra di luar panggung adalah tipe
yang serupa. Seni akting Rendra adalah eksteriorisasi elan vital untuk
menjadi ”Aku” sebagai institusi alternatif. Namun, di tingkat personal
Rendra sendiri berhadapan dengan trauma kulturalnya sendiri: Mengatasi
tradisi—terutama tata nilai priayi dan konsep hierarki, tapi sekaligus
hendak berjarak kritis dengan sekularisasi pembangunan.
Putu,
khususnya pada periode ’layar’ dengan teater piktograpiknya,
menampilkan seni akting yang merupakan aspek libidinal dari eros. Diksi
oratorik warisan Rendra masih membayang, tapi yang kini disuarakan dari
visualisasi surealistik. Dari trauma represi Orba, Putu dikebalkan oleh
proto-religi dan memori kebaliannya. Namun, bagi Putu sendiri, konsep
’teater teror’ adalah gelombang traumatik yang turun-naik: terikat pada
proto-religi kebalian, tapi yang sekaligus hendak dibebaskannya. Seni
akting Putu adalah modus menemukan identitas dengan cara menginterogasi
sumber bawah- sadar kulturalnya.
ART.E.FAK- John Heryanto. Foto: Ahda Imran |
Seni
akting pasca-Orba menampilkan signifikasi tubuh sebagai bahasa.
Olok-olok verbal dan gestural disisihkan. Mencerminkan kebosanan pada
verbalitas dan kehancuran sosok utuh. Ini menjadi ciri bagi diskoneksi
terhadap konsep ’menjadi’ atau ’pentipean hero’. Seiring dengan itu,
teater modern mengalami depopularisasi di ruang publik. Teater bukan
lagi wadah progresi atau berperan sebagai institusi alternatif.
Tubuh
pasca-Orba adalah tubuh yang ikut menampung dua trauma sosial: ledakan
kriminalitas di jalan-jalan, dan sejenis kehampaan karena kondisi
subsistence. Tubuh kolektif pasca- Orba adalah tubuh yang geram dan
pengalihan energi untuk kegemaran destruktif.
Penggiat
teater terposisi sebagai periferi budaya urban. Teater tidak lagi
menjadi pusat sosialitas. Aktor dan penonton saling memintas di antara
jalur epistemik yang terfragmentasi. Tak ditemukan model pengalaman
bersama karena wilayah common-ground sudah disusupi oleh motif hedonis,
pragmatis dan koruptif. Ketertindasan pelaku teater urban adalah
berhadapan dengan situasi lost of culture; terpisah dari kultur aktual
yang sudah serba simulasi. Kontras dengan itu, dunia film komersial dan
televisi justru memanfaatkan kultur simulasi sebagai eksploitasi
tematik. Ditandai oleh maraknya produksi film hantu, yang mengarnavalkan
aneka spektakel ketakhyulan. Dari simulasi dilahirkan tentakel
simulasi. Di dalam teater, akting tubuh yang hendak dijadikan bahasa,
seperti mikroskop darurat, dengan dua kemungkinan ekspresi: sebuah
eksplosi jasmani di luar sintaksis literal; atau menjadi sintaksis ludik
tanpa pemaknaan sosial.
Yang
tersedia di sela situasi lost of culture: munculnya seni akting parodi
sebagai koridor pemuasan temporer. Pencapaian seni akting parodi
(Republik Mimpi, Democrazy) menampilkan pengontrasan antara diksi resmi
dengan interupsi diksi lisan yang improvisatoris; kritik dan sindiran
lentur tanpa konfrontasi ideologis, fleksibilitas plesetan, serta
demonstrasi karakter elite politik yang didistorsi, sebagai titian untuk
menghangatkan gojegan. Hasilnya: surplus tertawa dan eksploitasi
bahakan; menjadi cermin surutnya kritisisme yang visioner.
Tipikal
akting parodi—yang ’mengusik tanpa menonjok’, ’menggelitik tanpa
membidik’, yang ’menyentil tanpa menukik’, dan secara teknik
didemonstrasikan dengan piawai, adalah cermin keluwesan yang mewakili
dua gejala: moderasi dari independensi media, dan melemahnya peran
ideologi independen. Di tengah suasana yang lebih bebas bersuara, kita
justru tertindas oleh keluwesan moderasi itu. Moderasi cenderung
diawetkan karena kita kehilangan pertalian dengan ideologi yang mampu
memvitalisasi kecerdasan publik. Pancasila tinggal ornamen negara. Media
publik memihak kepentingan untuk mereproduksi moderasi agar dapat
bertahan di arus atas kapitalisasi. Strategi moderasi kemudian menjadi
instrumen kapitalisasi juga; untuk kebutuhan akting politik, akting
ekonomi, dan kamuflase kepemimpinan. Sementara publik bekerja dengan
agenda ketertindasannya sendiri: harga bahan pokok yang
(di)gonjang-ganjing(kan) memicu aktualisasi tubuh yang geram untuk
diledakkan lewat aneka demonstrasi ketidakpuasan. Kita sedang berakting
tanpa ’sandiwara’; sebuah pemuasan substitutif tanpa katarsis, untuk
merayakan periode parodis ini. Di mana kebangkitan?
-------
Benny Yohannes, Dosen Estetika di Prodi Teater, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Budaya Indonesia serta mengajar Performance di Sekolah Manjemen ITB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar